PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan( Ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) menuju ke tingkat tinggi, dan itu bukan hanya mengenal tuhan saja (ma’rifatullah), melainkan kesatuan wujud (Wihdatul Wujud). Tasawuf falsafi juga bisa di katakan sebagi tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran orang filsafat,
Lahirnya tasawuf falsafi ini di mulai dari asal mula pemahaman tasawuf yang bermacam-macam, sehingga banyak yang mencari tahu untuk mengungkap-
kan pertama kali ajaran tasawuf tersebut. Yang pertama, ada yang berpendapat bahwa tasawuf itu adalah murni ajaran dari islam, bukan berasal dari non islam, dan yang kedua, ada yang berpendapat bahwa tasawuf merupakan kombinasi dari ajaran islam dan non islam, seperti nasrani, Hindu-Budha, Filsafat Barat (gnotisisme). Sedangkan yang ketiga, ada yang mengungkapkan bahwa tasawuf itu bukan dari islam atau yang lain, melainkan independent terhadap siapapun yang berkehendak mengikuti ajaran tasawuf.
Berkembangnya tasawuf membuat orang-orang sufi menyingkap arti dari tasawuf falsafi itu seperti halnya Ibnu Al-Arobi, seorang sufi ayng berpendapat bahwa proses segala sesuatu itu berasal dari yang satu, yaitu kesatuan eksistensial (Wihdatul Wujud), dimana segala sesuatu tersebut belum ada dan belum terwujud kecuali Allah sebagi zat semata tanpa sifat dan nama, karena Allah-lah yang awal dan yang akhir, yang tiada teribaratkan atau termisalkan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tasawul Falsafi
Tasawuf mengandung arti cara atau metode untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, Sedangkan Falsafi merupakan pemikiran orang-orang filsafat.
Jadi, tasawuf falsafi merupakan sebuah konsep tasawuf untuk mengenal Tuhan dengan pendekatan secara rasio (filsafat), hingga dapat menuju ke tingkat yang lebih tinggi.. bisa juga dikatakan tasawuf falsafi yakni, tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
Di dalam tasawuf falsafi, metode pendekatanya sangat berbeda dengan tasawuf Sunni atau tasawuf Salafi. Kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis, sengkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis, sehingga dalam konsep-konsepo tasawuf falsafi lebih mengedepankann asas rasio dengan pendekatan-pendekatan filosofis, yang mana hal ini sulit di aplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa di katakan mustahil.
Pada dasarnya, banyak ahli sufi yang mengartikan pemahaman tasawuf falsafi, namun dalam hal ini tasawuf pada intinya merupakan sebuah cara atau metode oleh seorang manusia dengan tujuan agar dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Sedangkan arti dari tasawuf falsafi sendiri merupakan sebuah konsep atau cara yang digunakan untuk mengenal Tuhan secara rasio atau akal, sehingga dapat mencapai pada tingkat tertinggi, dimana terdapat pemikiran-pemikiran dari para filsuf
Dengan kata lain pada intinya semua manusia mempunyai tujuan yang sama secara lahir dan batin untuk dapat lebih mengenal Tuhanya. Sehinnga manusia tersebut akan terus berusha melakukan apa yang menjadi keyakinan mereka terhadap pendekatan itu sendiri.
2.2 Latar Belakang Ibnu Araby
Ibnu Araby bernama lengkap Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Hatim. Beliau biasa dipanggil dengan nama Abu Bakar, Abu Muhammad, dan Abu Abdullah. Namun beliau terkenal dengan gelar Ibnu ‘Araby Muhyiddin dan al Hatami. Ia juga mendapat gelar sebagai Syaikhul Akbar dan Sang Kibritul Ahmar. Beliau lahir pada 17 Ramadhan 560 H / 29 Juli 1165 M di kota Marsia, yaitu ibukota Andalusia Timur.
Ibnu ‘Araby tumbuh besar di tengah-tengah keluarga sufi. Ayahnya tergolong seorang ahli zuhud yang sangat keras menentang hawa nafsu dan materialisme serta menyandarkan kehidupannya kepada Tuhan. Sikap demikian kelak ditanamkan kuat pada anak-anaknya, tak terkecuali Ibnu ‘Araby.
Pada tahun 568 H, keluarganya pindah dari Marsia ke Isybilia. Perpindahan inilah yang menjadi awal sejarah perubahan kehidupan intelektualisme Ibnu ’Araby, yakni kepribadian sufi, intelektualisme filosofis, fikih, dan sastra. Karena itu, tidak heran jika ia kemudian dikenal bukan saja sebagai ahli dan pakar ilmu-ilmu islam, tetapi juga ahli dalam bidang astrologi dan kosmologi. Meski Ibnu ‘Araby belajar pada banyak ulama’, seperti Abu Bakar bin Muhammad bin Khalaf al lakhmi, Abul Qosim asy Syarroth, dan Ahmad bin Abi Hamzah, Ali bin Muhammad Ibnl Haq al Isybili, Ibnu Zarqun al Anshori, dan Abdul Mun’im al Khazraji, serta belajar hadits madzhab Imam Malik dan Ibnu Hazm adz Dzahiry, namun beliau sama sekali tidak bertaklid sunnah yang berbeda dengan metode yang ditempuh para pendahulunya. Hamper seluruh penafsirannya diwarnai dengan penafsiran teosofik yang sangat cemerlang.
2.3 Kesufian Ibnu Araby
Pada perjalanan intelektualismenya, Ibnu Araby akhirnya menempuh jalan sufi (tarekat) dari beberapa syekhnya. Setidaknya, ini terlihat dari apa yang ia tulis dalam salah satu karya monumentalnya, Al-Futuhatul Makkiyah, yang sarat dengan permasalahan sufisme dari beberapa syekh yang memiliki disiplin dalam kehidupan duniawi, dan lebih memusatkan pada perhatian ukhrawi. Untuk kepentingan ini, ia tak jarang melanglang buana demi menuntut ilmu. Beliau menemui para tokoh arif dan jujur untuk bertukar dan menimba ilmu dari ulama tersebut. Dan dalam usia yang sangat muda, 20 tahun, Ibnu ‘Araby telah menjadi sufi terkenal.
Menurut Ibnu Araby, tarekat sufi dibangun diatas empat cabang, yakni : Bawa’its (instrumen yang membangkitkan jiwa spiritual), Dawa’i (pilar pendorong ruhani jiwa), Akhlaq, dan hakikat-hakikat. Sementara komponen pendorongnya ada tiga hak. Pertama, hak Allah, adalah hak untuk disembah oleh hambaNya dan tidak dimusyriki sedikitpun. Kedua, hak hamba terhadap sesamanya, yakni hak untuk mencegah derita terhadap sesama, dan menciptakan kebajikan kepada mereka. Ketiga, hak hamba terhadap diri sendiri, yaitu menempuh jalan yang didalamnya kebahagiaan dan keselamatannya.
Pemikiran tasawuf Ibnu ‘Araby dipengaruhi oleh rangkaian panjang pergulatan tradisi yang melingkupi zaman dan lingkungannya. Mulai dari tradisi Timur, Hellenistik, Persia, India, Yunani, Kristen, hingga tradisi Yahudi. Tak heran, bila pemikirannya bersifat eklektis dan filosofis. Ibnu ‘Araby adalah seorang sufi dengan pemahaman yng ensiklopedis terhadap khazanah ilmu-ilmu islam.
Hampir dalam setiap bidang keilmuan dibahas oleh Ibnu ‘Araby. Mulai dari tafsir, hadits, fikih, kalam, tasawuf, dan falsafah. Tidak mengherankan jika kemudian beliau mendapat gelar Syaikh al Akbar (guru agung) dan Muhyi al Din (pembangkit agama). Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa Ibnu ‘Araby merupakan salah seorang tokoh sufi yang paling berpengaruh dalam sejarah islam sehingga James Morris, salah seorang pengkaji pemikiran Ibnu ‘Araby yang sangat intensif, mengatakan bahwa sejarah pemikiran islam setelah Ibnu ‘Araby hanyalah merupakan catatan kaki atas pemikiran-pemikirannya.
2.4 Pemikiran-Pemikiran Ibnu ‘Araby
Pengaruh Ibnu ‘Araby dalam bidang tasawuf, khususnya tasawuf falsafi, sangat luar biasa. Gagasan Ibnu ‘Araby menyebar luas dan memiliki pengikut yang tidak sedikit jumlahnya.
Menurut Ibnu ‘Araby, ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh orang yang mempelajari tasawuf, yaitu : lapar, kurang tidur, tidak banyak bicara, mengisolasi diri, jujur, tawakkal, sabar, tekun, dan yakin. Sementara yang harus ditolak dalam tasawuf ada empat hal, yaitu : hasrat, dunia, nafsu, dan syetan. Tasawuf merupakan salah satu labirin dari berbagai dimensi keberagamaan. Sering dihadapkan dengan syari’at yang lebih berorientasi pada formalisme beragama, tasawuf merupakan sebuah upaya menyelami relung terdalam religiusitas.
Dalam membahas sebuah objek, Ibnu ‘araby terlebih dahulu mengklasifikasikan tentang cara-cara objek pengetahuan diperoleh. Menurutnya, ada tiga klasifikasi pengetahuan:
a. Pengetahuan intelektual (‘ilm al aql), yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan segera atau melalui suatu penyelidikan secara demonetrasional mengikuti prosedur logis.
b. Pengetahuan eksperensial, yaitu kesadaran akan keadaan-keadaan bathin fikiran yang hanya bisa dikomunikasikan setelah merasakan sendiri. Seorang rasionalis tidak bisa mendefinisikan keadaan-keadaan ini, dan akal juga tidak bisa dijadikan alat untuk membuktikan kebenaran keadaan ini (misalnya : manisnya madu dan nikmatnya cinta).
c. Pengetahuan tentang yang ghaib (‘ilm al ashrar), yaitu bentuk pengetahuan intelektual yang transenden yang diraih melalui wahyu atau ilham dari ruh suci (malaikat Jibril) ke dalam pikiran. Pengetahuan ini terdiri dari dua jenis : yang bisa diterima oleh akal (melalui prosedur rasional), dan melalui prosedur spiritual.
Dalam bidang ontologi, salah satu sumbangan pemikiran Ibnu ‘Araby adalah doktrinnya tentang ketunggalan wujud atau wahdatul wujud. Yaitu sebuah pandangan bahwa tak ada wujud yang sejati, yang mutlak, yang mencakup semua wujud, kecuali Allah yang Maha Esa. Kemutlakan wujud Allah akan menenggelamkan wujud-wujud yang lain. Dengan logika ini, maka makna dari syahadat laailaahaillallah ialah bahwa saya bersaksi tiada sesuatupun yang memiliki wujud sejati kecuali Allah. Konsekuensinya, segalanya selain Allah, termasuk manusia dan dunia, tidak benar-benar ada. Artinya semuanya itu tidak berada secara terpisah dari Allah dan sepenuhnya bergantung pada Allah. Yang selain Allah itu tampil sebagai wujud-wujud terpisah semata-mata hanya karena keterbatasan-keterbatasan persepsi manusia.
Ibnu ‘Araby dalam menjelaskan “wujud yang bergantung” ini menggunakan istilah “bayangan” dalam sebuah cermin. Gambar dalam sebuah cermin meskipun “ada” dan “kelihatan”, bagaimanapun juga ia hanyalah ilusi atau bayangan dari aktor yang bercermin. Dan ketika Sang Aktor menggunakan ribuan cermin maka bayangan Sang Aktor akan menjadi banyak, padahal hakikatnya tetaplah Satu
2.5 Kontroversi Pemahaman Ibnu Araby
Meski pemahaman Ibnu ‘Araby telah menyebar luas, tapi tak sedikit yang menilai pandangan-pandangan filsafat tasawuf Ibnu ‘Araby, terutama kaum fuqaha’ dan ahli hadits, sebagai paham yang kontroversial. Sebut saja, misalnya, teorinya tentang Wahdatul Wujud yang dianggap condong pada pantheisme. Salah satu sebabnya adalah lantaran dalam karya-karya Ibnu ‘Araby banyak menggunakan bahasa-bahasa simbolik yang sulit dimengerti khususnya kalangan awam. Karenanya, tidak sedikit yang menganggap Ibnu ‘Araby telah kufur, misalnya Ibnu Taimiyah dan beberapa pengikutnya yang menilainya sebagai “kafir”. Memang pada akhirnya, Ibnu Taimiyah menerima pandangan Ibnu ‘Araby setelah bertemu dengan Taqiyyudin Ibnu ‘Athaillah as Sakandari asy Syadzili di sebuah masjid di Kairo, yang menjelaskan makna-makna metafora Ibnu ‘Araby, dan mengatakan bahwa yang sesat itu adalah pandangan pengikut Ibnu Araby yang tidak memahami makna sebenarnya dari ajaran Ibnu Araby.
BAB III
PENYELESAIAN MASALAH
3.1 Wahdatul Wujud
Selama ini sering rancu apakah Wahdatul Wujud itu sama dengan Pantheisme. Konsep Wahdatul Wujud menyatakan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang mempunyai wujud yang hakiki atau mutlak kecuali Allah. Wujud Mutlak adalah wujud yang keberadaannya independen (tidak bergantung pada apapun), tidak berawal, tidak membutuhkan wujud lain untuk membuatNya berawal (karena Dia memang tidak berawal). Adanya Wujud Mutlak ini ialah keniscayaan bagi keberadaan wujud-wujud lain yang berawal. Alam semesta dan segala sesuatu selain Allah adalah wujud yang tidak hakiki, karena keberadaannya tergantung kepada Wujud Mutlak.
Oleh para sufi segala wujud selain Allah itu disebut wujud al mukmin. Berbeda dengan Wujud Mutlak, wujud al mukmin ini adalah wujud yang berawal, artinya baru ada pada waktu awal tertentu. Misalnya alam semesta yang baru ada pada saat Big Bang(terjadinya ledakan besar, yaitu yang dianggap awal mula terjadinya bumi oleh para ilmuwan), yang oleh para kosmolog diperkirakan terjadi 10 milyar tahun yang lalu. Oleh karena itu, alam semesta ialah wujud al mukmin, karena keberadaannya diwujudkan (maujud) oleh Allah.
Harus dipahami bahwa paham Ibnu ‘Araby ini tidak menyamakan segala sesuatu yang tampak sebagai bukan Allah itu dengan Allah. Sebab jika kita misalnya mengatakan bahwa manusia adalah Allah dan Allah adalah manusia, maka kita akan jelas-jelas terjebak ke dalam Pantheisme. Menurut Ibnu ‘Araby, keterbatasan persepsi manusia telah gagal untuk melihat kaitan intregal antara keberadaan selain Allah dengan keberadaan Allah sendiri.
Jelas ada perbedaan prinsipil antara Wahdatul Wujud dengan Pantheisme. Pantheisme menganggap bahwa wujud Tuhan itu bersatu dengan wujud makhluk, sedangkan Wahdatul Wujud menganggap bahwa wujud Tuhan itu terpisah dari wujud makhluk. Jadi, bagi penganut Pantheisme, wujud Tuhan itu tidak ada, karena Tuhan adalah alam, dan alam adalah Tuhan. Jelas dari sisi logika maupun dalil kepercayaan Pantheisme ini adalah sesat.
Doktrin wahdatul wujud Ibnu ‘Araby bersifat monorealistik, yakni menegaskan ketunggalan yang ada dan mengada (tauhid wujudi). Teori Wahdatul Wujud menekankan pada unitas wujud yang hadir pada segala sesuatu yang disebut sebagai maujud. Tuhan berwujud, manusia berwujud, benda-benda mati berwujud, dsb. Maka akan timbul pertanyaan, apa yang membedakan antara wujud Tuhan dengan wujud selainnya ?
Untuk menjawab persoalan yang dikenal dengan istilah problem multiplisitas dengan unitas wujudiyah yang menerangkan tentang dua perkara yang cukup fundamental. Pertama, ada yang disebut dengan istilah maujud murakkab, dimana keberadaan entitas tersebut bergantung pada unsur-unsur pokoknya. Segala sesuatu yang masuk dalam kategori ini pasti akan terbatas. Kedua, maujud Basit, dimana jenis wujudnya tak pernah bergantung pada unsur-unsur. Karenanya Ia tidak pernah terbatas. Wujud ini (maujud Basit) hanya milik Allah SWT saja, dimana wujudnya merupakan maujudnya itu sendiri.
Menurut Ibnu Araby, tahap tertinggi yang bisa dicapai manusia adalah pengalaman langsung (dzauq). Ibnu Araby memandang pengalaman langsung sebagai tujuan tertingginya. Menurutnya, saat mencapai tahap tersebut, jiwa berarti telah mencapai kondisi peniadaan-diri (fana’). Dan pada saat itulah ia akan mampu secara visual menyaksikan kesatuan segala sesuatu, yaitu kesatuan antara Yang Mencipta dengan yang dicipta, dan Yang Abadi dengan yang binasa.
3.2 Karya-Karya Ibnu Araby
Ibnu Araby menghasilkan banyak karya. Menurut penelitian para ulama dan orientalis, Ibnu Araby mempunyai sedikitnya 560 kitab dalam berbgai disiplin ilmu keagamaan dan umum. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa risalah-risalah kecil Ibnu Araby mencapai 2000 judul. Diantara semua kitab-kitab yang dikarangnya, Futuhat al Makkiyah adalah merupakan karya terbesarnya, yang mana di dalamnya terdapat uraian tentang inti dari ajaran mistismenya. Ada juga Fushus al Hikam yang membahas tentang penyingkapan hikmah ketuhanan para nabi. Kitab tafsirnya yang terkenal adalah Tafsir al Kabir yang terdiri atas 90 jilid. Terdapat pula kitab yang berisi sekumpulan syair-syair cinta spiritual, yaitu Tarjumanul al Asywaq.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Ibnu Araby merupakan tokoh sufi yang berorientasi pada filsafat (tasawuf falsafi). Menurutnya tarekat sufi dibangun di atas empat cabang, yaitu: Bawa’its, Dawa’i, Akhlaq, dan Hakikat-hakikat.
Ibnu Araby sangat dikenal dengan konsep Wahdatul Wujud-nya. Beliau lah mengajarkan bahwa tidak ada sesuatupun yang wujud kecuali Tuhan. Segala yang ada selain Tuhan adalah penampakan lahiriyah dariNya.
Perkembangan puncak dari tasawuf falsafi, sebenarnya telah di capai dalam konsepsi Wahdatul Wujud sebagai karya piker mistik ibnu Araby. Sebelum ibnu Arab, sudah muncul teori dari seorang sufi yakni penyaoir dari mesir ibnu Al-Faridh yang mengembangkan teori yang sama yaitu Wahda Asy-syuhud.
Tasawuf falsafi juga di kenal dengan nama tasawuf syi’I karena konsep-konsep tasawuf falsafi berkembang dari kaum syiah dan bermadzhabkan Mu’tazilah.
Konsep Wahdatul Wujud adalah bukan merupakan pantheisme. Pantheisme menganggap bahwa wujud Tuhan itu bersatu dengan wujud makhluk, sedangkan Wahdatul Wujud menganggap bahwa wujud Tuhan itu terpisah dari wujud makhluk
Konsep Wahdatul Wujud milik ibnu Arabi bukanlah suatu pemikiran yang menyesatkan pengikutnya.