27 Februari 2011

Aku dan Anakku



Usiaku kini 27 tahun, selama hidup aku hanya memikirkan bagaimana aku sukses dalam karirku. Menurutku usia ini tidak terlalu tua jika aku masih belum menikah, tapi orang tuaku selalu menanyakan kapan aku akan segera memperkenalkan calonku kepadanya, kapan aku akan segera mendapat pendamping hidup dan memberikan cucu untuk mereka. Tapi aku masih merasa bahwa kehidupanku masih panjang, banyak hal yang masih belum aku lakukan saat ini, bahkan untuk orang tuaku, apalagi untuk diriku sendiri dan keluargaku nanti.
            Menikah adalah suatu ikatan suci yang dilakukan untuk membentuk keluarga yang harmonis, keturunan dan kelanjutan hidup yang lebih baik. Sebuah alasan kenapa aku masih menundanya adalah karena kesiapan diriku untuk semua hal itu, apakah aku nantinya tetap bisa menjalankan karirku, organisasiku, dan seluruh aktifitasku diluar. Sungguh itu membutuhkan kesiapan yang sangat matang. Aku sendiri masih ragu akan diriku apakah bisa menjadi ibu yang baik untuk seluruh putra-putriku, kehidupan yang terbaik untuk  mereka, serta tempat tinggal yang layak untuk kami. Apakah nanti suamiku akan menyayangiku, dan apakah suamiku akan menerima segala kekurangan yang ada pada diriku.
            Rasanya sulit jika aku hanya membayangkanya. Ternyata di tahun 2001 semua ketakutan itu aku buktikan, aku akhirnya menikah dengan laki-laki pilihanku diantara 20 laki-laki yang hampir semuanya aku tolak. Tepat tanggal 13 Agustus 2001, saat inilah aku menjadi pengantin, mengenakan pakaian pengantin dan duduk di singgasana pengantinku. Suamiku yang tidak aku kenal sebelumnya, dengan perkenalan singkat yang hanya kurang lebih 3 bulan itu ternyata banyak menutup mataku. Awal yang indah di sebuah pernikahan memang itu sudah biasa, tapi apa yang bisa di sangka untuk kelanjutanya nanti.
            12 Oktober 2002, kini aku merasa aku adalah wanita yang sempurna, lahirnya putri kecilku yang sangat cantik menutupi semua masalahku, membuat aku menjadi orang yang sangat bahagia di dunia. Meskipun jenis kelamin yang di inginkan oleh suamiku adalah laki-laki, tapi apa yang hendak dikata, takdir berkehendak lain dan kita harus menerima itu semua.
            Pernikahan yang sangat aku takutkan, suamiku yang masih belum bisa memberikan rumah sebdiri, sedangkan aku yang benar-benar merdeka dalam karirku, karir sebagai guru pengajar selama 1 minggu yang sangat menyita waktu kami. Suamiku sangat berubah sejak kelahiran anak pertama kami, mungkin dulu masih sering menyapa orang tuaku, sering dirumah, bahkan dulu yang masih mengizinkan aku untuk berorganisasi, kini semuanya berubah. Status kecemburuan sosial terhadap saudara perempuanku yang di bangunkan rumah orang tuaku menjadi faktor penyebab utamanya, ditambah pula keinginanya memiliki anak putra masih belum bisa terwujud.
            Imbas yang aku terima semakin menyakitkan diriku, orang tuaku, dan sekarang anakku. Kami semua di pisahkan dari orang tuaku meskipun kami tinggal dirumah. Orang tuaku yang tiba-tiba di usir dari rumah mereka sendiri, anakku yang sangat di kekang agar tidak menjalin hubungan dengan kakek dan neneknya, sedangkan aku lumpuh dalam perjalanan karirku, tanpa teman dekat dan sahabat. Mereka semua juga menjadi imbas dari perbuatan suamiku itu. Tak ada yang mau lagi bersamaku meskipun kami semua sama-sama dewasa dan mempunyai kehidupan rumah tangga. Rumah tangga yang sangat bahagia karena istri juga mempunyai hak atas kehidupanya. Rasanya sesak jika aku harus mengeluh pada nasib, atau suratan takdir ini.
            Usia berlian kini mencapai 7 Tahun, dia sudah menjadi gadis kecil yang sangat pandai dan cantik. Jika tidak ada ayahnya dirumah, maka ia harus sembunyi-sembunyi bertemu dengan kakek dan neneknya, namun jika ketahuan maka berlian akan dipukul habis-habisan oleh ayahnya. Aku masih tak mengerti apa yang suamiku inginkan sehingga ia berbuat seperti ini, kepadaku, orang tuaku dan anakku. Aku merasa bahwa dia bukan seperti suamiku, yang dulu aku kenal ramah, penyayang dan sopan. Tapi janjinya telah ia lupakan, hanya karena aku kini seorang istri yang tak pantas berkarir, tak pantas keluar rumah seenaknya, kecuali jika ada hal yang memang baik, itupun harus diantarkanaya dulu. Apa salahnya jika yang aku datangi adalah pengajian, jika yang aku geluti adalah berada di masyarakat, menjadi pendidik yang baik. Apakah semua itu menyalahi aturan sebagai istri yang tidak menurut pada suaminya?.
            Tekanan batin yang aku rasakan semakin membuat aku sakit, sakit akan perlakuanya, perasaanku tidak menerima itu semua, aku hanya berfikir bagaimana aku menyudahi hubungan ini, andai aku meninggalkanya dan kembali pada orang tuaku, lalu bagaimana dengan anakku, bagaimana dengan pandangan masyarakat terhadapku? Semuanya sangat membingungkanku, apakah ada jalan terbaik yang bisa aku lakukan untuk melanjutkan rumah tanggaku ini, kenapa ketakutanku kini menjadi kenyataan. Harusnya aku dulu tidak berfikir seperti itu, harusnya aku menuruti apa kata ibuku untuk segera menikah, bagaimanapun ketampananya, yang penting hati dan ketulusanya untukkku dan keluargaku. Aku sudah sering berkata kepada suamiku untuk menjawab apa yang dia inginkan dari keluargaku, aku sering bertanya kenapa sikapnya selalu dingin pada kami, tapi apa balasan yang aku dapat. Tamparan, hinaan, dan yang paling menyakitkan adalah ketika berlian menjadi pelampiasan amarahnya.
            Pernah di suatu hari, ibuku mendengar pertengakaran kami yang sangat hebat, berlian menangis tidak karuan, dan aku hanya bisa terbungkam. Tanpa aku ketahui ibuku langsung mndobrak pintu kamarku, beliau mengatakan kepada suamiku agar meninggalkan aku, jika tak bisa berlaku baik pada kami. ibuku saja tidak penah memukulku, bahkan memarahiku. Air mata 2 wanita yang aku sayang membuat aku sangat terluka. Suamiku hanya bisa diam, lalu pergi meninggalkan rumah. Kini aku rasanya terbebas dari penjara atas kepergianya, tapi syariat agama tak memperbolehkan hal ini terjadi, hingga aku memintanya untuk kembali pulang kerumah, membicarakan sesuatu yang ada antara kita berdua, tanpa orang tuaku dan anakku. Hanya kami berdua, mengambil jalan tengah, jalan yang terbaik untuk semuanya. Biar kesalahan ini menjadi cambuk yang berharga untukku. Semoga semuanya akan baik-baik saja. Aku hanya wanita yang lemah, tapi kelemahanku tak akan menurunkan harga diriku jika syariat tak pernah menyalahkanya.
            Keputusan yang terbaik dalam sebuah rumah tangga adalah dengan memperbaikinya, suamiku hanya takut kehilangan aku, tak mengizinkanku keluar adalah karena aku yang terlalu cantik baginya dan tak layak dinikmati orang banyak, meninggalkan orang tuaku adalah karena kita harus menjalani rumah tangga sendiri tanpa ikut campur keluarga, agar kita bisa mandiri, agar kita bisa mendidik anak kita sendiri tanpa campur tangan keluargaku yang memang tidak ada yang berpendidikan kecuali aku dan adikku yang masih duduk di SMA, tak membiarkan aku bersama teman-teman dan sahabatku, karena akan menyita banyak waktu, kapan aku harus mengurusi putri kecil kami, dan organisasiku harus aku tinggalkan karena pasti ada regenerasi yang baru dari organisasi itu. Semua alasan yang masuk akal, tapi kenapa tidak mau terbuka denganku, kenapa hanya marah dan marah kepadaku. Itu yang masih aku pertanyakan kepadanya dengan sikapnya yang kaku dan kasar.
            Aku sebagai istri yang tidak pernah menuntut hak suamiku, gajiku yang lebih besar darinya mungkin salah satu alasan itu, aku membeli kulkas untuk kami, selang beberapa bulan, kini berlian sudah mulai masuk SD yang ada di yayasan dimana aku mengajar, sedangkan suamiku harus sering lembur, arah kerja kami berlawanan, sebenarnya sudah lama aku memutuskan untuk membeli sepeda motor agar aku tidak merepotkan suamiku lagi, atas pertimbangan dan usaha yang keras, aku membeli sepeda motor dengan uangku sendiri, agar aku bisa melakukan aktiftas tanpa tergantung denganya dan tidak lagi merepotkanya. Kini aku bisa berangkat bersama berlian, pulang bersamanya, dan setelah ashar kembali mengantarkanya ke TPQ, dan menjemputnya kembali pada jam 5 sore.
            Sebelum aku membeli sepeda motor, aku hanya bisa berangkat bersama berlian dan suamiku, aku pulang kadang dijemut suamiku, atau kadang aku mintak antar siswaku, sedangkan pulang sekolah berlian aku titipkan ke rumah muridku yang dulu dan ia juga mengajar di TPQ tersebut, dan aku hanya menunggu dirumah, sedangkan suamiku akan menjemputnya lebih sore menjelang magrib tiba. Aku bahkan sangat kasihan kepada putriku yang menjadi korban selama ini, tapi itu tidak akan menyurutkan aku dari berbagai hal yang aku ingin perbaiki dari segala keadaan ini.
            Setelah aku membeli sepeda itu, rasanya aku tidak butuh lagi dengan suamiku, dia berangkat sangat pagi melebihi aku karena tempatnya yang jauh, pulangpun hampir jam 8, bahkan juga jam 10 malam, kami sudah tidak lagi seperti suami istri, banyak yang menginginkan agar aku hamil lagi di usiaku yang sudah melebihi kepala 3 , tapi suamiku melarangku untuk itu, dengan alasan satu anak ini sudah lebih dari cukup. Bukan cukup membahagiakan, tapi cukup merepotkan, padahal apa yang dianggapnya merepotkan? Sedangkan aku tidak pernah menuntut gajinya untuk diberikan padaku, semua kebutuhan menggunakan uangku. Aku tidak pernah menuntut kapan ia akan memberikan uang belanja kepadaku, bahkan untuk aku, untuk putri kecilku saja tdak pernah. Lalu uangnya selama ini untuk apa? Dia hanya beranggapan kalau gajiku yang lebih besar darinya bisa mencukupi segala kebutuhan hidup kita, bahkan untuk beraspun aku masih minta kepada orang tuaku, untuk semuanya aku masih meminta kepada orang tuaku, lantas atas dasar apa suamiku selalu melarang aku berhubungan dengan orang tuaku, padahal beras yang ia makan adalah milik orang tuaku, sedangkan untuk menyapanya saja suamiku tidak pernah mau.
            Dikala idul fitri, suamiku hanya datang layaknya tamu, datang untuk mintak maaf setelah itu pergi, hingga menjelang idul fitri pada tahun berikutnya, hingga sekarang dan entah sampai kapan. Aku selalu merasa bingung dengan keadaanku, aku kini tidak berani seperti dulu, aku hanya takut tak bisa mempertahankan rumah tanggaku lagi, tapi aku tak tau apa yang harus aku lakukan, untuk memperbaiki keadaan ini. Aku hanya bisa pasrah dan berdoa, semoga aku kuat menghadapinya, dan suamiku mendapat pencerahan hidup yang lebih baik, meskipun jika aku harus memilih, aku akan memilih untuk menjadi janda dan merawat putriku, dari pada aku harus seperti ini.
            Ini adalah sebuah kisah, kisah yang aku rasa tak patut untuk ditiru, tida seperti yang aku inginkan, apa yang yang di harapkan, dan apa yang di impikan. Jangan pernah takut untuk membentangkan sayap jika memang jalan yang kita tempuh adalah benar,.
 wahai anakku.. ibu ternyata harus pergi meninggalaknmu, ibu berharap kehidupan rumah tanggamu lebih baik dari ibu, jangan pernah kau membenci ayahmu, karena dia juga sangat menyayangimu. Kepergian ibu akan tetap menjagamu, akan tetap menemanimu, dan ibu akan selalu ada di sampingmu. Aku sangat menyayangimu anakku.
            Aku hampir tak percaya saat membaca surat dari ibu, kepergianya karena sakit yang ia derita mengajarkan aku banyak hal tentang hidup, aku harus membuka mata menatap dunia, dan aku berjanji akan melakukan yang terbaik untukmu ibu..